Member-only story
Permisi yang Terlupakan
#458: Jangan lupa untuk permisi atau pamit
Pada suatu pagi, saya bekerja dengan laptop di sebuah kafe di Jakarta Selatan. Saya sudah ada di sana tidak lama setelah kafe itu buka. Saat saya tiba, masih sedikit pengunjung yang ada. Saya memilih meja agak panjang berkapasitas 10 orang agar leluasa menaruh barang-barang. Saya berencana untuk bekerja di sana hingga menjelang acara pelatihan hari itu yang dimulai pukul satu siang.
Belum jadi anggota Medium? Baca versi gratis tulisan ini.
Pengunjung kafe bertambah sedikit demi sedikit. Meja-meja di sekitar saya mulai dipenuhi orang. Saya duduk dengan punggung menghadap tembok dan muka menghadap pintu masuk. Itu posisi favorit saya. Meski tidak pernah melihat dengan terang-terangan, saya mengamati orang-orang yang masuk dengan ekor mata. Saya terlatih mencuri pandang.
Serombongan orang memasuki kafe sambil mengobrol. Mereka berlima, empat lelaki dan satu perempuan, yang semuanya memakai batik. Umur mereka saya duga sekitar pertengahan 20-an. Salah seorang dari mereka berkata dengan suara pelan sambil menunjuk meja saya, “Duduk di situ aja.” Mereka pun menuju meja saya. Saya pikir mereka akan menyapa, “Permisi, boleh duduk di sini?” Saya biasanya melakukan itu.