Member-only story
Pangkas Rambut
#496: Cukur, gunting, potong, regas, dan tampas
Waktu awal kuliah, saya sempat gondrong. Eh, itu gaya bahasa totum pro parte. Maksudnya, rambut saya sempat gondrong. Panjangnya sampai sebahu. Kala itu saya terhanyut kebebasan remaja yang baru menjadi mahasiswa dan lepas dari pengawasan orang tua. Saya merasa keren dengan kegondrongan itu. Saya percaya diri ketika mendekati perempuan mana pun. Sekarang, saya malu sendiri melihat foto saya ketika gondrong: kurus dan kumal. Kok, para perempuan itu waktu itu mau didekati saya, ya?
Belum jadi anggota Medium? Baca versi gratis tulisan ini.
Kalau tidak salah, saya memutuskan berhenti gondrong saat tahun keempat kuliah. Alasannya karena kepraktisan. Rambut panjang harus dirawat dan banyak menghabiskan sampo. Lagi pula, teman-teman saya yang tadinya gondrong pun sudah banyak yang memendekkan rambut mereka. Paling tidak, saya sempat merasakan berambut panjang. Sejak itu, saya selalu berambut pendek. Saya sempat agak gondrong saat pandemi karena tidak ada pemangkas rambut yang buka.
Sejak 2016, saya selalu memangkas rambut saya di Kaizen di gedung Setiabudi One. Tempat itu dekat dengan kantor saya saat itu. Meski sudah tidak lagi berkantor di sana, saya sudah telanjur nyaman dengan tempat itu. Pemangkas rambut mereka terampil dan ramah. Waktu pemangkasan rambut di sana…