Member-only story
Idulfitri 1445 H
#472: Mohon maaf lahir dan batin
Pada hari terakhir Ramadan 1445 H, saya tiba di rumah adik bungsu saya, Adis, di Bintaro sepuluh menit sebelum buka puasa. Rumah itu menjadi tempat tinggal ibu saya setelah ayah saya wafat sehingga sering menjadi tempat berkumpul kami. Adek, adik kedua saya, sudah ada di sana sejak pagi. Eril, adik pertama saya yang tinggal di Bandung, baru saja di hotel tempatnya menginap. Dia lejar (penat sekali) setelah menyetir dari Bandung sehingga tidak bisa ikut berkumpul malam itu.
Belum jadi anggota Medium? Baca versi gratis tulisan ini.
Setelah beriftar dan bersalat Magrib, kami makan malam bersama sambil mengobrol dan menunggu hasil sidang isbat penetapan 1 Syawal. Anak-anak bermain kembang api dan petasan di halaman rumah. Ibu saya tampak kecewa karena Eril memutuskan untuk tidak datang. Keempat anaknya gagal berkumpul semua malam itu. Kami berusaha memupus kekecewaan beliau dengan bercerita dan bercanda. Pelan-pelan, beliau mulai ikut tertawa menyimak celoteh kami.
Selepas pukul 9 malam, saya dan anak istri saya bersiap-siap pulang. Tiba-tiba, telepon Yoki, suami Adis, berdering. Saat menerima telepon itu, suara ipar saya berubah menjadi agak parau dan matanya berkaca-kaca. Kami mengamatinya dengan saksama, berusaha menebak apa kabar duka yang diterimanya. Innalillahi wainnailahi rajiuun…