Tidak Suka Sayur

Kebiasaan dapat diubah dengan pembiasaan. Alah bisa karena biasa.

Ivan Lanin
2 min readFeb 2, 2023

--

Foto: Dudygr

Waktu kecil, saya tidak suka sayur. Saya merasa sayur merusak rasa makanan. Suasana panas dan gurih yang dibawa daging hilang karena rasa sayur yang dingin dan hambar. Kalau dipikir-pikir, saya sebenarnya tidak benar-benar tidak mau makan sayur. Saya kadang makan sayur nangka dan daun singkong — pucuk ubi kata orang Minang.

Saya menduga ketidaksukaan terhadap sayur muncul karena kebiasaan. Di rumah, dahulu ibu saya jarang menyajikan sayur. Kalaupun ada, paling sayuran bersantan. Hidangan yang hampir selalu ada di meja makan rumah Ibu khas orang Minang: rendang dan dendeng balado. Kadang-kadang ada telur balado, udang balado, atau tongkol … balado juga!

Hidangan di meja makan rumah Ibu tersaji sepanjang hari. Ibu jarang membereskan hidangan ke dalam sepen. Kata Ibu, “Percuma. Nanti juga dikeluarkan lagi.” Maklum, anak-anak Ibu ada empat — saya si sulung — dan semuanya selalu lapar.

Waktu SMA, saya bersekolah di Bandung. Ketika itu saya menumpang di rumah pak tuo saya di Cibabat. Kakak ayah saya itu — kami memanggilnya Ayah Pi — sudah lama merantau ke Bandung dan lancar berbahasa Sunda. Istri beliau, Tek Nini, aslinya orang Minang juga, tetapi gaya dan selera beliau sudah seperti orang Sunda.

Di rumah Ayah Pi, saya terpaksa mulai makan sayur selain nangka dan daun singkong. Masakan Tek Nini lebih mirip masakan orang Sunda: ikan gurami, ayam goreng, dan lalap dengan bonteng dan leunca. Tentu saja sambal terasi selalu menyertai. Lama-lama, saya terbiasa dan suka dengan masakan Sunda. Satu-satunya yang belum bisa saya nikmati sampai sekarang ialah oncom.

Sejak itu, saya suka sayur. Rasa hambar atau pahit pada sayur saya nikmati sebagai pelengkap rasa asin dan gurih nasi dan lauk-pauk. Kesukaan ini membantu untuk menghemat biaya ketika saya menjadi anak kos saat masuk kuliah. Harga sayur di kantin kampus lebih murah daripada harga daging.

Kebiasaan 15 tahun tidak makan sayur ternyata dapat diubah dengan pemaksaan dan pembiasaan. Prinsip ini yang kemudian selalu saya pegang ketika ingin menumbuhkan kebiasaan baru, termasuk kebiasaan menulis tiap hari yang sekarang sedang saya pupuk. Alah bisa karena biasa.

Perusahaan saya, Narabahasa, menyelenggarakan pelatihan keterampilan berbahasa, seperti menulis konten, berbicara di depan publik, dan menyunting naskah. Kami juga menyediakan buku-buku dan pernak-pernik kebahasaan di toko daring. Dukung kami dengan mengikuti pelatihan atau membeli produk kami.

--

--

Ivan Lanin

Wikipediawan pencinta bahasa Indonesia yang belajar bercerita setiap hari