Sumbang takarir, ah.
Matahari terbenam perlahan di cakrawala kota yang sibuk, menandai akhir dari hari kerja yang panjang dan penuh tantangan. Di dalam gerbong kereta yang berderit pelan, sekelompok penumpang berwajah lelah duduk dan berdiri ditemani oleh kerlip layar ponsel. Masker yang menutupi sebagian wajah menambah anonimitas dalam kerumunan, dengan rasa kebersamaan yang tidak terucap di antara mereka.
Seorang laki-laki dengan tas punggung tampak merenung, mungkin memikirkan proyek yang baru saja diselesaikannya, sedangkan seorang wanita di seberangnya terlihat tenggelam dalam percakapan digital. Di sisi lain, seorang penumpang lain memejamkan matanya, menyerahkan diri pada kelelahan dan ritme perjalanan kereta, mencari ketenangan sejenak sebelum kembali ke rutinitas rumah tangga.
Iklan warna-warni di atas kepala menyajikan janji-janji produk dan jasa yang bisa jadi topik ringan pembicaraan atau sekedar pemandangan latar yang dilalui tanpa perhatian. Sesekali kereta berhenti, pintu terbuka, wajah baru bergabung, sedangkan yang lain pergi, masing-masing membawa cerita hari mereka sendiri.
Di sini, dalam kabin yang dipenuhi suara derit rel dan bisikan hampir tidak terdengar, setiap orang berbagi sepotong perjalanan hidup mereka. Mereka berjalan bersama, tetapi terpisah, masing-masing tenggelam dalam pikiran dan harapan, sambil menuju ke tempat yang disebut "rumah".