Member-only story

Refleksi

Schadenfreude

#815: Kesenangan melihat penderitaan orang lain

3 min readMar 19, 2025

--

Lukisan “Return to the Convent” (Eduardo Zamacois y Zabala, 1868) yang menggambarkan sekelompok biarawan mentertawakan biarawan lain yang sedang berusaha menjinakkan keledai. (Sumber: Wikimedia Commons)

Saya terserang flu sejak Minggu sore, tampaknya karena tertular saat buka bersama keluarga pada Sabtu. Gara-gara itu, rutinitas menulis harian saya terganggu. Tulisan Senin tentang pemformatan bertingkat dan tulisan Selasa tentang penulisan singkatan gelar dibuat berdasarkan bank ide dan pengetahuan yang ada di kepala saya. Sebenarnya, saya berniat membuat ulasan novel Brian Khrisna dan buku Andreas Kurniawan.

🔑 Lanjutkan membaca dengan mengklik tautan teman ini.

Malam ini pun saya masih sulit berkonsentrasi karena lendir yang masih terasa menggumpal di glabela—bagian dahi di antara alis. Tiga hari terakhir, saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk tidur. Saat bosan tidur, saya melanjutkan membaca buku terbaru Bang Andreas: Seorang Wanita yang Ingin Menjadi Pohon Semangka. Kata schadenfreude (dibaca “sya-den-fro-i-de”) pada halaman 156 buku itu menarik perhatian saya.

Schadenfreude dianggap merupakan kata takterjemahkan (untranslatable) dari bahasa Jerman yang berarti ‘kesenangan melihat penderitaan orang lain’. Kata itu berasal dari gabungan Schaden (kerusakan) dan Freude (kegembiraan). Nomina dalam bahasa Jerman selalu ditulis dengan huruf awal kapital.

--

--

Ivan Lanin
Ivan Lanin

Written by Ivan Lanin

Wikipediawan pencinta bahasa Indonesia yang berlatih bercerita setiap hari

Responses (7)