Member-only story
Sarang Kosong
#530: Ketika anak meninggalkan rumah
Teman saya, sebut saja Tono (50 tahun plus), hampir tiap sore mengirim pesan WhatsApp kepada teman-temannya, “Di mana lo? Nongkrong, yuk.” Dia malas pulang karena rumahnya kosong. Semua anaknya sudah tidak tinggal di rumah karena berkuliah di luar kota. Tono ekstrover yang mendapat energi saat bertemu orang, sedangkan istrinya introver yang lebih senang diam di rumah.
Belum jadi anggota Medium? Baca versi gratis tulisan ini.
Kami, teman-teman Tono, kerap menegurnya karena terlalu sering di luar rumah dan membiarkan istrinya, sebut saja Tini, sendirian. Tono berkilah, “Bini gue ngerti, kok. Gue sering ngajak dia, tapi dia nggak pernah mau. Dia seneng-seneng aja sendiri di rumah.” Karena kami lihat Tono selalu memberi tahu Tini di mana dia berada, kami pun menerima kondisi itu. Paling, kami repot mengatur siapa yang “bertugas” menemani Tono tiap hari. Dia rewel kalau tidak ada temannya yang mau menemani.
Kondisi Tono menyadarkan kami bahwa sebentar lagi kami pun akan mengalami hal yang sama. Anak-anak kami akan meninggalkan rumah untuk hidup mandiri. Kami, para orang tua, akan kembali hidup sendiri. Kami kehilangan kesibukan mengurus anak yang sebenarnya menyenangkan meski merepotkan. Kondisi itu disebut “sindroma sarang kosong” (empty nest syndrome).