Pembuat Konten

Kita tidak mungkin memuaskan semua orang. Jadikan kritik sebagai bekal untuk membuat konten yang lebih baik.

Ivan Lanin
2 min readMar 14, 2023

--

Foto: Stefani Dewinatalia

“Uda pernah dikritik karena suka membuat konten kebahasaan?”

Demikian salah satu pertanyaan yang diajukan Mbak Leha (Tiffany Al Hamid) ketika saya mengobrol dengannya Senin kemarin, 13 Maret 2023, untuk mengisi acara Kreatalk di kanal YouTube BuddyKu.

BuddyKu merupakan platform portal yang menyediakan konten, baik agregasi dari sumber konten lain maupun orisinal dari pengguna (user generated content/UGC). Platform ini merupakan prakarsa MNC Group yang diluncurkan pada 2021. Acara Kreatalk tampaknya ditujukan bagi para pembuat konten (content creator) yang diwadahi BuddyKu.

Obrolan dengan Mbak Leha membuat saya berpikir, “Ternyata saya termasuk pembuat konten, ya?”

Saya tidak meniatkan diri untuk menjadi pembuat konten kebahasaan. Saya mulai belajar menulis formal di Wikipedia Bahasa Indonesia (WPID) dengan suntingan perdana untuk “Pajak Penghasilan” pada 23 Februari 2006. Setelah itu, saya membuat blog di WordPress dengan tulisan pertama “Keadaan Kahar” bertanggal 20 Juni 2007. Kedua tulisan itu sangat pendek dan agak memalukan kalau dibaca ulang sekarang.

Kemudian, tibalah era Twitter. Saya bergabung dengan Twitter pada awal Juli 2007 dan, katanya, termasuk 200 orang Indonesia pertama yang punya akun Twitter. Saat itu, saya juga tidak berniat untuk menjadi pembuat konten. Lihat saja twit pertama saya ini.

Sampai dengan sekitar 2009, saya aktif menulis di WPID. Sambil menulis, saya mempelajari lagi berbagai kaidah bahasa Indonesia secara autodidaktik. Hasil belajar itu saya tuangkan dalam bentuk tulisan di blog dan twit di Twitter. Sebagian besar warganet Twitter ketika itu merupakan narablog (blogger) yang gemar menulis. Mereka memerlukan pengetahuan kaidah kebahasaan yang saya sebarkan sebagai bekal menulis.

Itulah awal keaktifan saya membuat konten kebahasaan di Twitter. Pelan-pelan, makin banyak orang yang menanyakan masalah kebahasaan mereka melalui Twitter. Tidak semua pertanyaan dapat dijawab seketika. Pertanyaan yang belum terjawab menimbulkan rasa penasaran dan memaksa kita untuk lebih banyak belajar.

Kembali ke pertanyaan awal dari Mbak Leha, tentu saja saya pernah dikritik. Kaidah bahasa membuat orang yang bergerak dalam bidang kreatif seperti sastra merasa dikungkung kebebasannya. Di sisi lain, beberapa kaidah bahasa cukup pelik dan sulit dirumuskan dengan sederhana. Saya sering dikritik karena dianggap menghambat kebebasan berbahasa dan terlalu menyederhanakan bahasa.

Saya tetap perlu menyampaikan kaidah bahasa baku sebagai bahan kita menggunakan ragam bahasa formal. Kaidah itu dapat dilenturkan dalam ragam bahasa nonformal dan kreatif. Saya juga tetap perlu menyampaikan kaidah bahasa dengan sederhana agar mudah dipelajari. Kalau belum apa-apa sudah menghadapi aturan yang rumit, orang akan malas mempelajari bahasa.

Kita tidak mungkin memuaskan semua orang. Jangan mundur karena satu atau dua kritik. Jadikan kritik sebagai bekal untuk membuat konten yang lebih baik.

Tingkatkan keterampilan berbahasa Anda melalui kelas Narabahasa, baik yang diadakan secara langsung (sinkron) maupun melalui rekaman (asinkron). Kunjungi toko daring kami di Shopee dan Tokopedia untuk memperoleh buku-buku dan pernak-pernik kebahasaan yang menarik.

--

--

Ivan Lanin

Wikipediawan pencinta bahasa Indonesia yang belajar bercerita setiap hari