Member-only story
Omelan Rindu
#210: Kurangi derita rindu dengan tetap menjalin komunikasi
Anak lanang saya, Arka, baru lulus SMA dan akan masuk kuliah. Beberapa hari yang lalu, saat Arka pulang dari berlibur bersama dengan 12 teman laki-lakinya selama sepekan di Bali, ibunya (istri saya), Nanda, mengatakan bahwa dia rindu sekali dengan Arka. Nanda menyatakan itu sambil tertawa-tawa dan mengelus-elus tangan dan kepala Arka.
Belum jadi anggota Medium? Baca versi gratis tulisan ini.
Anak saya berkata, “Mama masih mending kangennya nggak pakai ngomel-ngomel.” Ternyata, pacar anak saya juga rindu, tetapi disertai dengan omelan—omelan rindu.
Saya tertawa. Kejadian yang sama saya alami berpuluh-puluh tahun yang lalu. Pacar saya ketika itu juga sering mengomel kalau lama tidak bertemu. Untunglah, sekarang mantan pacar saya itu sudah bisa menahan diri untuk tidak marah-marah saat rindu dengan anaknya. Namun, mungkin juga itu sekadar pencitraan.
Karena penasaran, saya mencari rujukan mengapa kita kadang mengomel, bahkan marah, saat rindu kepada seseorang, khususnya pasangan.
Katanya, secara biologis, saat berada di dekat pasangan, produksi hormon dopamin dan oksitosin meningkat. Dopamin memberikan perasaan senang dan bahagia, sedangkan oksitosin menciptakan ikatan sosial dan emosional. Saat…