Member-only story
Dirgahayu
#601: Mengapa masih banyak yang salah menggunakan kata?
Mas Sofyan, seorang wartawan kenalan saya, mengirim pesan melalui WhatsApp, “Selamat siang, Uda Ivan. Saya sedang melakukan uji kompetensi wartawan. Saya diminta liputan tentang makna dirgahayu. Apakah Uda bersedia saya hubungi via Zoom atau WA video siang ini? Hanya lima menit, Uda. Saya minta tanggapan Uda mengapa masyarakat masih banyak yang salah menggunakan kata dirgahayu. Terima kasih.”
“Selamat siang, Mas. Boleh. Mungkin via WA saja karena saya sedang malas mandi,” jawab saya dengan dibubuhi emoji orang tertawa.
Belum jadi anggota Medium? Baca versi gratis tulisan ini.
Kamis itu saya bangun agak siang karena tidak ada jadwal mengajar dan malam sebelumnya baru pulang lepas tengah malam dari menikmati jaz di Soireé bersama dengan teman-teman, termasuk Mas Yusi Avianto Pareanom. Karena ditodong Mas Yusi, malam itu saya langsung memesan karya terbaru beliau, Mancis: Jejak Darah, melalui salah satu lokapasar (marketplace).
Saya senang membaca pesan Mas Sofyan yang ditulis dengan rapi. Anak sekarang menyebutnya “typing ganteng”. Yang saya tidak suka ialah topiknya. Topik itu selalu berulang dibahas menjelang peringatan 17 Agustus. Saya bosan.